Berlainan dengan
paruik, kampuang dan suku, maka nagari adalah merupakan suatu masyarakat hokum.
Nagari adalah gabungan dari beberapa buah suku, minimal mempunyai 4 buah suku,
jadi federasi genealogis. Menurut hokum adat (undang undang nagari), ada empat
syarat untuk mendirikan sebuah nagari, yang pertama harus mempunyai sedikitnya
4 suku, kedua harus punya balairung untuk bersidang, ketiga sebuah mesjid untuk
beribadah, ke empat sebuah tepian tempat mandi.
Setiap nagari
mempunyai batas-batas tertentu yang ditetapkan atas dasar pemufakatan dengan
para pangulu dan nagari-nagari bersebelahan. Batas-batas itu adakalanya
ditentukan dengan batas-batas alam seperti sungai, sawah, tetapi ada juga yang
diberi tanda yang dinamakan lantak pasupadan. Disamping itu nagari juga
mempunyai pemerintahan sendiri oleh dewan kerapatan adat nagari yang anggotanya
terditi dari pangulu andiko sebagai wakil paruik, maupun suku. Dengan demikian
dapatlah dikatakan nagari pada hakekatnya adalah suatu pemerintahan berbentuk
republik otonom.[1]
Kata orang yang
menceritakan, tidak berapa lama kemudian ninik Parapatiah nan Sabatang berlayar
pula membawa tujuh pasang suami istri. Mereka sampai pada suatu tanah menanjung
kedalam sungai. Karena tanah itu baik dan subur, mereka menetap disana dan berladang
membuat taratak. Tempat itu beliau beri nama Pangkal Bumi. Kemudian menyusul
pula duapuluh tiga pasang suami istri dari Pariangan Padang Panjang yang ingin
mencari penghidupan disana karena di Pariangan sudah penuh sesak. Mereka menetap di daerah antara Pangkalan
Bumi dan Sungai Tarap. Mereka bersama sama dengan yang tujuh pasang suami istri
berladang dan membuat taratak.
Tempat mereka
menambatkan perahu atau (jung) nya, dinamakan "Tembatan Ajung", lalu
disingkat menjadi tabek Ajung. Sedangkan Pangkal bumi berubah nama jadi Ujung
Tanah. Lama kelamanaan berkembang pula orang orang yang di Taratak dan di ladang
padi tadi, taratak itu menjadi dusun yang ramai, lalu dibuat orang dua buah
koto dipinggir taratak itu, yang bernama Tanjung dan Sungai Mangiang, sebab
mata air yang mengalir disana kerapkali jadi mangiang (pelangi) dan dari kedua
koto itulah orang pulang pergi ke taratak dan ladangnya masing masing. Hingga
kini disitu masih adatempat yang bernama taratak dan ladang.[2]
Kemudian sesuai
dengan perkembangan manusia, koto itu dijadikan orang nagari, oleh ninik
Parapatiah Nan Sabatang nagari itu diberi namaTanjung Sungayang Nan Batujuah.,
karena yang menetap di Nagari itu adalah orang yang dua puluh tiga pasang
ditambah tujuh pasang tadi. Keturunan mereka sampai kini masih ada di nagari
itu. Itulah orang yang berhutan tinggi dan berhutan rendah dan mereka ada
berpangkat sepanjang adat di dalam Nagari itu.Sungai patai, merupakan salah
satu nagari tua yang ada di Luhak Tanah Datar. Nagari ini berbatasan langsung
dengan Kabupaten Lima Puluh kota. Menurut tutur sejarah yang terdapat dari
warih balabeh, dulu disini ada air cembur yang mencembur ke udara sampai terlihat
air ini dari Pariangan nagari tertua di Minangkabau.
Sejak dulu mulai
dari dusun di talago jaya. Dulu di dusun Talago Tinggi sebelah timur nagari
Sungai Patai sekarang terdapa air yang mencembur dari tanah, orang yang dulu
dari Talago Tinggi menamai air terbit, yang memancar tegak lurus dan mengaliri
dua sungai di sisi barat dan timur perkampungan. Setelah dicemati dari atas
dusun Talago Tinggi bentuk nagari ini seberti buah petai yang mana dari sisi ke
sisi di aliri sungai dan di tengah – tengah di tempati untuk pemukiman. Setelah
dicermati bentuk nagari ini seperti petai. Menurut flosofi orang tua – tuo
dahulu petai ini benar berbau busuk akan tetapi jika dimasak untuk makanan akan
terasa enak, sama halnya dengan orang – orang yang pernah tinggal atau singgah
di nagari ini, jika mereka tidak berpandai – pantai maka hidup disini akan
terasa membosankan akan tetapi jika pantai membawakan diri maka akan kerasan
tinggal sama layaknya petai jika pandai memasaknya maka akan terasa enak. Di
daerah Talago Tinggi ini ditemuka balai (pasar) dan tempat balai untuk
kerapatan.
Menurut versi lain
di sungai – sungai tersebut tumbuh pohon petai yang sangat besar. Karena temapt
Talago Tinggi tidak bisa memnuhi kebutuhan sehari – hari maka oeang – orang
dari Talago Tinggi pindah ketempat yang lebih bisa memenuhi kebutuhan orang
banyak. Sejak orang Talago Tinggi turun ke daerah rawa – rawa yang kini menjadi
pemukiman mansyarakat. Sebelum sampai ke daerah raawa – rawa itu setiap sungai
yang mereka temukan selalu ada batang petai yang tumbuh maka mereka berniat
jika membuka pemukiman maka memberi nama nagari Sungai Patai.
Setelah turun
dari Talago Tinggi, di buat mesjid dan balai – balai adat[3]
dalam sistm pemerintahan nagari yang terdiri dari 30 penghulu dan masuk dalam
persekutuan adat (adat federate) dimana nagari ini berhulu yaitu persekutuan
Sungai Tarab. batas – batas nagari menurut I.G.O ( Comitte dimentie) pada tahun
1914 semasa pemerintahan kolonial belanda dengan ditetapkan pada tanggal 17
Agustus 1945 dan diarsipkan oleh DT. NARO pada tanggal 2 JUNI 1952, dengan
batas nagari : ka timur gunuang sago,
kayu bapilin padang nan tigo, hinggo bukik sungkiang ba janjang ka Sungai Patai
bapintiu ka ladang lawas. ka barat berbatasan dengan kewalian angari sumanik
hinggo batu biliak guguak situnggang puncak nan duo. ke selatan kewalian
tanjung sungayang hingga galanggang cigak paraku anjiang labuah sampik mahligai
Dt. Gamuak kampuang ranah sungayang. ke utara kewalian si tumbuak hinggo lakuk
tarok, bukit tigo sakumpa hinggo lakuk sikumbang.
System
adat yang dipakai di nagari sungai patai adalah hinggo mancakam dahan, tabang manumpu dahan ( dan diwajibkan bagi
orang dagang untuk mengaku mamak kepada salah datu suku yang telah menempati
sungai patai dari dahulunya. System penghulu Ramo – ramo sikumbang jati, kati endah pulang bakudo, patah tumbuah
hilang baganti, pusako lamo disina juo. Biriak – biriak tabang kasasak, dari
samak tabang kahalaman, dari ninik turun kamamak dari mamak turun kakamanakan.
Dalam kehidupan sosial karajo baiak
bahimbaoan karaojo buruak samo – samo malarang.[4]
Perkembangan
paruik menimbulkan jurai-jurai. Lama kelamaan juraipun berkembang biak pula,
sehingga menjurus terbentuknya paruik-paruik baru. Kemudian paruik ini
mendirikan kampuang-kampuang, adakalanya kampuang itu ada yang berjauhan
letaknya disebabkan kesempitan ditanah asal. Sekalipun demikian hubungan antara
kampuang-kampuang yang sudah banyak itu masih terikat kepada kampung asal.
Perkembangan dari kampung kampung inilah yang kemudian menimbulkan suku-suku,
yang dikenal dengan 4 suku asal yaitu : Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago. Suku
artinya kaki, yaitu kaki dari seekor hewan seperti kambing, sapi, kerbau dan
sebagainya. Itulah asal mula pengertian suku di Minangkabau sekarang.
Perkembangan
selanjutnya, suku dipahamkan sebagai satu kesatuan masyarakat, dimana setiak
anggota merasa badunsanak (bersaudara) dan seketurunan, serta mempunyai
pertalian darah menurut garis ibu, jadi mengandung pengertian genealogis.
Setiap anggota yang mempunya suku yang sama dinamakan sapasukuan dan tidak
boleh mengadakan hubungan perkawinan diantara mereka.
Tiap-tiap
suku dipimpin oleh seorang pangulu dengan pangilan datuak sebagai sebutan
sehari-hari. Setiap suku mempunyai gelar pusaka tertentu, gelar juga tidak
berbatas kepada pangulu tetapi setiap laki-laki yang sudah berumah tangga
mempunyai gelar dengan peringkat sutan (Misalnya datuak Batuah = gelar seorang
penghulu, Sutan Batuah = Gelar seorang laki-laki yang sudah menikah). Istilah
pangulu suku adakalanya disebut pangulu andiko dijabat oleh seorang laki-laki
yang dipilih oleh segenap anggota keluarga dalam suku. Nagari Sungai Patai
terdiri dari 4 Pasukuan yang masing-masing dikepalai oleh Datuak Ampek Suku
yaitu pertama, Pasukuan Koto Piliang, kepala pasukuannya DT. Angguang. Kedua, Pasukuan III Ninik, kepala pasukuannya DT.
Majo Nan Kuniang. Ketiga, Pasukuan
Panai Mandahiling, kepala pasukuannya DT. Lelo Nan Putiah. Keempat, Pasukuan Pitopang Salo nan Tujuah, kepala pasukuannya DT.
Paduko Nan Kasek.[5]
[1] Buletin Sungai Puar
No. 26 Juli 1988
[2] Curaian Adat
Minangkabau. Penerbit : Kristal Multimedia Bukittinggi
[3] Balai Purbaka cagar
budaya (BPCB) Batusangkar dengan no regestrasi 22/BCB-TB/A/12/2007
[4] diarsipkan oleh DT. NARO pada tanggal 2 JUNI 1952
[5] Fandi Pratama, “Prosesi
adat kematian penghulu di Nagari Sungai Patai kecamatan Sungayang kabupaten
Tanah Datar” skirpsi (Jurusan Sastra
Daerah Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya Padang : 2015)
Post a Comment