Silat sudah menjadi bagian penting di Minangkabau untuk melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Hal ini telah dilakukan oleh seorang Pandeka dai
Sungai Patai yaitu Tuangku Abdul Rahman. Dia adalah murid tertua dari Tuangku
Gaduik, pembawa aliran silat sungai patai. Pada awalnya murid dari tuangku Gaduik
terdiri dari 14 orang dan tidak hanya dari sungai patai.
Tuangku Abdul rahman mengunakan silat sungai patai sebagai alat bela
diri untuk melawan Belanda dalam menentang Belasting (Pajak). Perang melawan
penentapan pajak dikenal dengan Perang Belasting atau Perang Pajak. Perang ini
terjadi akibat protes masyarakat Minangkabau terhadap Belanda karena
membebankan pajak terhadap individu. Penerapan perang Belasting ini akibat
gagal pelaksanaan tanam paksa kopi oleh Belanda di Minangkabau.
Tahun-tahun
ini juga merupakan masa berjangkitnya dan meluasnya organisasi- organisasi
politik pribumi, suatu masa dimana gerakan- gerakan berkembang, dan pengaruhnya
terasa berlanjut sampai dengan masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sistem
yang dibicarakan disini, kemudian adalah sumber utama bagi keuntungan
pemerintah di daerah itu antara tahun 1847, sepuluh sesudah perang Paderi
berakhir dan tahun 1908, waktu timbulnya pemberontakan anti pajak.
Hampir semua daerah menentang pajak yang di tetapkan oleh Belanda. Perang
Belasting yang terkenal di Kamang, Agam. Di Sungai Patai, Perang Belasting di
pimpin oleh seorang Ahli Silat sungai Patai yakni Tuangku Abdul Rahman, Dia
adala salah satu dari 14 murid pertama Angku Gaduik, pembawa aliran silat
Sungai patai.
Semenjak di
keluarknya undang-undang pajak (Belasting) oleh Belanda. Tuangku Abdul Rahman
memanggil kawan seperguruannya agar melakukan perlawanan terhadap Belanda. Diantara
murid- muridnya yaitu Sultan Taher dari Jambi, Siti Hajir dari Lintau, Datuk
Saliguri dari Padang Luar.
Pelaksanaan rencana untuk melakukan penyerangan Belanda di Van der
Cappelen beliau mengadakan rapat di sungai patai tepatnya Sawah tangah. Dari rapat
tersebut dibuat keputusan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda dan
mengirim utusan ke Kamang. Utusan yang di utus adalah Pandekan Muhammad Zen dan
Pandeka Salimat.
Anggota rapat
dari Lintau yaitu Siti Hajir menyampaikan keputusan rapat di sungai patai
kepada angku Qadhi agar Belating yang telah di setor diminta kembali. Sehingga terjadi perang Lintau yang di pimpin
oleh Siti Hajir.
Namun di Sungai
Patai sendiri, Belasting belum diberlakukan. Upaya penyerbuan Van der Cappelen
telah dipersiapkan secara matang. Para murid Tuangku Abdul Rahman telah berlati
silat, menyiapkan kapak, parang dan senjata-senjata buatan Lintau. Senjata dari
Lintau di jemput langsung oleh Pandeka Angku IV ajo sebanyak 30 buah parang.
Ferdi Rizal
Arifin “Sejarah Nagari Sungai Patai” (Palembang : Tanpa penerbit, 26 Mei 2003)
(tulisan ini
diketik ulang dari Hasil Team Redaktur pelitian sejarah nagari sungai patai
yang dipimpin langsung oleh Wali nagari Sungai Patai Masa 2003 yaitu Dt. Paduko
Jalelo dengan team)
bersambung…..
Post a Comment