Tidak terasa hampir beberapa
tahun ini tidak menikmati puasa secara penuh di kampung halaman, terakhir puasa
yang sebulan penuh di tahun 2011. Tahun ini menjadi tahun dimasa bulan puasa
begitu nikmat. Selain itu, penulis ikut juga menjadi pedagang tahun nan yang hanya muncul selama bulan Ramadhan berjualan jagung bakar
setelah selesai sholat tarawih.
Bersama dengan sahabat
konco arek bak palangkin di jalan
raya kami bertiga memulai usaha setelah 3 hari puasa. Dengan modal yang tidak
kurang dari Rp. 200.000, Penulis, Efri alias jefri, Afdhol mulai
mencari jagung ke Sumanik. Bagi kamu di orang sungai patai, sumanik adalah
produsen terbesar jagung walau jagung tersebut berasal dari luar daerah
sumanik namun tokenya banyak orang Sumanik. Hingga akhirnya sumanik menjadi
pemasok jagung untuk kawasan tanah datar dan sekitarnya.
Balai Ambek yang di sebut Juga Dengan Lopou Tonga |
Kalau mengingat usaha
jualan jagung pas ramadhan tiba saya teringat dan masih sedikit samar masih
dapat merasakan kehadiran Balai ambek yang menjadi pasar dadakan selam bulan Ramadhan.
Generasi sebelum saya meungki tidak akan lupa eksistensi dari balai ambek.
Balai ambek dalam
bahas sungai patai naya balai penghalang, loh kok bisa pasar dikatakannya
sebagai penghalang, bukannya pasar sebagai tempat jual beli.
Tunggu dulu….
Penghalang disini
bukan maksud menghalangi orang berjualan di balai ini. Secara goegafi (bukan maksud sok pandai e dalam bahaso
sungai potainyo) balai ambek terletak di tengah pemukiman warga. Sering
kali balai ambek disebut juga dengan lopou
tongah. Dapat diartikan kedai yang terletak di tengah. Ya begitulah
letaknya di tengah tengah. Nah bagaimana sampai disebut dengan balai ambek. Kembali
lagi dari sisi geografis, dengan letaknya berada di tengah-tengah menjadi penghalang
orang dari utara ke selatan (kalau di sungai
potainya dari kalapo koto sampai ka lopou tongah di ambek dulu dek balai iko).
Selanjutnya kalau orang dari selatan sebut atau dari bawah mulai dari Gona (
batas nagari) bertemu dulu dengan balai ambek sebelum ke utara.
Begitulah eksistensi
balai ambek menjelang terjadi krisis moneter tahun 1998. Bagaimana hubungannya?
Begini… balai ambek itu, selain bulan ramadhan dijadikan sebagai pasarnya
penjualan kulit manis. Sebelum harga kulit manis jatuh setelah krisis moneter
balai ambek tetap eksis. Setelah harga kulit manis jatuh maka banyak dari
masyarakat tidak mangubak atau
menguliti batang kulit manis untuk dijual sehingga balai ambek menjadi sepi.
Kesepian balai ambek
memberikan dampak terhadap saat ramadhan. Harga sembako yang kali itu melambung
tinggi, menyebabkan para pedagang memilih untuk berdagang di kedai nya
masing-masing. Walaupun jarak balai ambek dengan kedainya paling jauh 500 M
saja. Bisa saja biaya operasional untuk ke balai ambek akan bertambah.
Sekarang ini sudah
tahun 2015, balai ambek hanya tinggal sebagai nostalgia bagi generasi yang
merasakan kehadiran balai ambek. Untuk orang-orang yang dapat menikmati
bagaimana nikmatnya belanja di balai ambek mungkin ingin kembali hadir balai
ambek sebagai bentuk kebangkitan ekonomi Sungai patai. Ke depan jika balai
ambek ini dihidupkan kembali mungkin saja akan menjadi daya tarik tersendiri bagi
sungai patai seperti Malioboro di Jogjakarta atau pasar Apung di kalimantan.
Tinggal bagai mana mengemas dan mempromosikan. Memang terlalu muluk-muluk
Namun, sebagian banyaknya sumber daya manusia masyarakat sungai patai yang saya
fikir mungkin saja terjadi. Ya tentunya
balai ambek yang menjadi daya tarik
tidak hanya menjual sembako seperti dulu saja, mungkin kita bisa membuatnya lebih menarik
seperti menjual buku-buku bekas, menjual
aneka alat-alat permainan yang pernah
eksis jaman dahulu, atau hal hal yang unik dan klasik. Nagari Atar saja
sekenal dengan nagari fotocopy karena kebanyakan perantaunya menjadi tukang
foto kopi. Kenapa orang lain bisa kita tidak?
Tulisan ini agak
nyeleneh tapi mudahan bisa membangun
Rahman Van Supatra
Post a Comment